Facebook

Rabu, 15 Oktober 2014

Reyog Ponorogo, The Biggest Mask Dance in The World

Indonesia adalah salah satu Negara dengan keberagaman budaya dan bahasa yang sangat kaya di dunia ini. Negara kita tercinta ini memiliki sebanyak 726 bahasa daerah dan 1340 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Untuk itulah tidak heran jika Bangsa ini memiliki kekayaan budaya yang luar biasa banyaknnya. Semua ini adalah anugerah dari Tuhan YME yang sudah seharusnya kita jaga bersama. 

Parade Reyog Ponorogo
Salah satu kesenian asli Indonesia yang sempat diklaim oleh Negara tetangga yaitu Reog Ponorogo. Reog Ponorogo adalah kesenian tari daerah Ponorogo yang terdiri dari 30 sampail 40 personel, antara lain adalah dadak merak, warok, bujang ganong, Kelanasewandana, Sanggalangit, dan pasukan jathil. Meski pada beberapa daerah ada yang juga menggunakan nama Reog sebagai tarian daerah mereka, namun Reog Ponorogo ini berbeda dengan tarian-tarian daerah lain yang juga menggunakan nama yang sama.

Salah satu usaha pemerintah Ponorogo untuk menjaga dan melestarikan kesenian budaya ini adalah dengan menjadikan kesenian daerah ini sebagai ekstrakulikuler pada mayoritas lembaga pendidikan di Ponorogo. Baik SMP, SMA atau perguruan tinggi, bahkan sebagian pondok pesantren di Ponorogo juga menjadikan kesenian Reog sebagai ekstrakulikulernya.

Jathilan
Usaha lain yang dilakukan pemerintah Ponorogo adalah dengan mengadakan event khusus yang mengangkat kebudayaan Reog ponorogo. Setiap satu tahun sekali di Ponorogo diadakan festival reog, tujuan festival ini selain untuk menjaga dan melestarikan kesenian Reog Ponorogo, juga untuk menyambut peringatan tanggal satu suro. Event ini sering disebut dengan perayaan Grebeg Suro. Suro adalah nama bulan dalam penanggalan  Jawa dan bertepatan dengan tanggal satu Muharram dalam tahun Islam. Festival ini diikuti oleh berbagai grup Reog Ponorogo yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

Setiap kali diadakan acara Grebeg Suro, kota Ponorogo akan kebanjiran tamu lebih banyak dari biasanya. Masyarakat yang datang dari berbagai penjuru luar kota Ponorogo berniat menyaksikan acara besar ini. Puncak dari rangkaian acara Grebeg Suro ini adalah kirab pusaka yang menampilkan berbagai macam adat dan tradisi masyarakat Ponorogo, dan disusul dengan pementasan seni pada malam harinya.

Jika sudah datang malam satu suro, jalanan menuju alun-alun kota Ponorogo akan ditutup, sehingga untuk menuju alun-alun kota Ponorogo harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh kira-kira 4 km. Budaya semacam ini merupakan tradisi nenek moyang masyarakat Ponorogo yang masih dilestarikan hingga saat ini. Untuk memperingati malam satu Suro masyarakat Ponorogo saat itu melakukan lek-lekan, yaitu begadang dan tidak tidur semalaman untuk sekedar berjalan-jalan  mengelilingi kota Ponorogo.

Aksi Bujangganong
Kesenian Reog Ponorogo yang telah turun temurun dan masih tetap eksis hingga saat ini, bahkan banyak dilirik para turis asing ini tidak luput dari kisah sejarah yang panjang. Banyak versi menceritakan tentang asal usul Reog Ponorogo yang sudah melanglang buana hingga ke mancaneraga ini.

Sejarah yang paling tersohor adalah kisah ratu Dewi Sanggalangit dan Kelanasewandana. Jadi, pada masa itu di suatu kerajaan di kota Kediri ada seorang putri yang sangat cantik yang bernama Sanggalangit, kedua orang tua putri sangat merindukan kehadiran seorang cucu, namun sayangnya ia belum ingin menikah dan memiiliki suami. Karena permintaan kedua orang tuanya yang memaksa, akhirnya sang putri bersedia untuk menikah dengan mengajukan persyaratan. Ia akan menikah dengan seseorang yang mampu menghadirkan persembahan tontonan atau keramaian yang belum ada sebelumnya, nantinya tarian itu akan dijadikan sebagai pertunjukan dalam pesta pernikahannya. Sang Putri juga mensyaratkan di dalam pertunjukan itu harus menghadirkan binatang berkepala dua dan seratus empat puluh kuda kembar.

Parade Reyog Ponorogo
Ayah sang putripun mengadakan sayembara untuk mempersunting putrinya. Ternyata syarat yang diajukan sang putri membuat ciut hati para lelaki yang tadinya hendak meminang sang putri, namun ternyata ada dua orang yang masih ingin mendapatkan sang putri dan berusaha memenuhi persyaratan yang diajukan olehnya. Dua orang itu adalah Raja Singabarong dari kerajaan Lodaya dan Raja Kelanasewandana dari kerajaan Bantarangin. Raja Singabarong ini merupakan manusia berkepala singa yang memiliki burung merak yang selalu bertengger di pundaknya untuk membersihkan kutu-kutu yang ada di kepalanya.

Dua raja inipun bersaing untuk mendapatkan sang putri, namun ternyata si Raja Singabarang mencoba untuk berbuat curang dengan berusaha mengambil usaha yang telah dilakukan Raja Kelanasewandana. Pertarungan antara dua kerajaan inipun tak dapat terelakkan, dan akhirnya kerajaan Raja Kelanasewandana lah yang merebut kemenangan. Raja Kelanasewandana mengutuk Raja Singabarang yang berbentuk seperti binatang berkepala dua dan menghadiahkan kepada putri Sanggalangit sebagai persyaratan untuk mempersuntingnya. Lengkap sudah persyaratan yang putri Sanggalangit ajukan, merekapun menikah dengan pertunjukan Reog sebagai pengiring perhelatan pernikahan mereka.

Sejarah di atas sudah berbau mitos, Ki Ageng Mirah, seorang pendamping Raja Batara Katonglah yang membuat legenda seperti di atas, karena pada saat itu tradisi kesenian Reog telah dilestarikan secara turun temurun hingga sampai pada masyarakat luas. Ada versi lain dari sejarah yang menyebutkan bahwa asal usul Reog Ponorogo ini adalah sebagai sindiran untuk raja Brawijaya.

Raja Brawijaya adalah raja Majapahit yang berkuasa saat itu yang belum melaksanakan tugasnya dengan tertib karena dipengaruhi oleh istrinya yang berasal dari China, yaitu ratu Cempa. Reog adalah penggambaran raja Brawijaya yang tunduk patuh terhadap ratu Cempa. Pada dadak merak, kepala singa yang berada dibawah burung merak menggambarkan raja Brawijaya yang tunduk patuh pada perintah dan perturan ratu Cempa yang digambarkan sebagai merak.


Mengapa masyarakat saat itu harus menggunakan simbol untuk mengkritisi kepemimpinan Raja Brawijaya? Karena menurut karakter orang Jawa tidak etis bahkan akan mati konyol jika mengkritisi kepemimpinan Raja secara langsung tanpa tanpa menggunakan simbol atau sebagainya. Itulah beberapa versi sejarah asal usul kesenian Reog Ponorogo, namun penulis lebih yakin dengan versi kedua karena kisah tersebut cenderung lebih logis.

Begitu kayanya kebudayaan Indonesia tercinta ini, maka sebagai masyarakat Indonesia yang sadar akan kekayaan dan aset Negara, kita harus selalu berusaha menjaga dan melestarikan aset kebudayaan Negara kita tersebut dengan menanamkan kecintaan kepada alam Indonesia dan segala macam kebudayaan yang ada di dalamnya.



0 komentar:

Posting Komentar